Cilegon,- Medianews.co.id,- Di sebuah acara bedah buku yang digelar di Cilegon, buku No LC No Party karya Rahmatullah Safra’i, yang lebih dikenal dengan nama pena Mang Pram, menjadi topik pembahasan hangat. Buku ini membahas realitas sosial yang ada di kota industri tersebut, khususnya terkait dengan dunia hiburan malam. Dalam acara ini, hadir sejumlah tokoh penting, di antaranya Kyai Haji Hafidin, seorang ulama terkemuka di Banten; Ahmad Fauzi Chan, Ketua PWI Cilegon sekaligus pemimpin media Fakta Banten; Ismatullah, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Cilegon; serta budayawan Kota Cilegon, Kang Indra Kusuma. Diskusi ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai fenomena sosial yang terungkap dalam buku tersebut.
Mang Pram membuka diskusi dengan menceritakan alasan di balik penulisan bukunya. Ia mengungkapkan bahwa buku ini ditulis untuk memberikan pandangan tentang dunia hiburan malam di Cilegon yang ia anggap penting untuk dibahas secara jujur. “Sebagai penulis atau wartawan, saya merasa lebih baik jika saya dapat terjun langsung ke lapangan dan mengamati langsung hiburan malam yang terjadi,” ujarnya. Acara ini juga bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang sekaligus memperingati ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Dalam diskusi tersebut, Mang Pram menanggapi kritik yang sering muncul setiap kali ia menulis tentang hiburan malam di Cilegon. Banyak pihak yang berpendapat bahwa ia seharusnya tidak membawa nama Cilegon dalam pembahasannya, mengingat sebagian besar lokasi hiburan malam terletak di Kabupaten Serang. Namun, Mang Pram tetap pada prinsipnya bahwa fenomena sosial yang terjadi harus didokumentasikan dengan jujur. “Saya selalu menulis tentang JLS Cilegon, karena itulah realitas yang ada,” tegasnya.
Mang Pram juga menambahkan bahwa dirinya tidak pernah berniat untuk menghakimi profesi tertentu dalam bukunya. “Saya tidak menjustifikasi profesi LC atau profesi mereka sebagai hal yang buruk,” ujarnya. Namun, ia sedikit menyinggung keberadaan alkohol yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), yang tetap beredar meskipun ada regulasi yang melarangnya. Mang Pram menyebutkan bahwa prostitusi adalah bisnis yang telah ada sejak lama dan masih berlangsung hingga kini, meskipun sulit terdeteksi akibat perkembangan teknologi seperti aplikasi Michat.
Keberadaan LC di Cilegon, menurut Mang Pram, tidak hanya sebatas pemandu lagu, melainkan juga mencerminkan fenomena sosial yang lebih kompleks. Ia menyoroti adanya lokalisasi di daerah pelabuhan Cilegon yang semakin memperburuk situasi sosial di kota tersebut. Mang Pram menceritakan pengalamannya sendiri dalam mengeksplorasi dunia hiburan malam ini, bahkan mengungkapkan bahwa ia menghabiskan Rp900 ribu untuk mengakses layanan melalui aplikasi Michat.
Mengapa Mang Pram merasa perlu untuk membukukan tulisannya? Ia menjelaskan bahwa sebagian besar materi dalam buku tersebut sebelumnya sudah dipublikasikan di Kompasiana, namun ia merasa penting untuk menyusunnya dalam format buku agar lebih sistematis dan memiliki dampak yang lebih luas. “Buku ini bukan sekadar tulisan sensasional. Saya hanya ingin mendokumentasikan apa yang terjadi di Cilegon, yang dikenal sebagai Kota Santri,” jelas Mang Pram.
Mang Pram juga membandingkan jumlah kamar santri di Cilegon dengan jumlah kamar LC, yang menurutnya lebih banyak jumlahnya. Hal ini menjadi salah satu indikator bahwa persoalan sosial di Cilegon semakin kompleks, apalagi dengan banyaknya pendatang dan perkembangan industri yang turut memperburuk kondisi tersebut. “Semakin banyak industri dan pendatang, maka semakin banyak pula persoalan sosial yang timbul,” tambahnya.
Ahmad Fauzi Chan, Ketua PWI Cilegon, memberikan apresiasi terhadap keberanian Mang Pram dalam menulis karya jurnalistik yang tidak hanya berfokus pada pemberitaan harian, tetapi juga berani merangkum dan menyusun laporan yang lebih mendalam dan abadi. “Mang Pram adalah salah satu wartawan yang paling unik di Cilegon. Dia memiliki keberanian untuk mengkritik masyarakatnya sendiri melalui tulisannya,” ungkap Ichan. Ia juga menekankan pentingnya karya jurnalistik yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga diverifikasi dengan cermat, mengingat perkembangan isu yang begitu cepat.
Di akhir diskusi, Ichan menegaskan bahwa jurnalis memiliki peran penting dalam menyampaikan kebenaran, bahkan sebelum aparat hukum bertindak. “Jurnalis bisa mengungkapkan kebenaran melalui karya jurnalistik yang telah diverifikasi, meskipun penegak hukum belum melakukan penyelidikan,” pungkasnya.
Diskusi bedah buku No LC No Party ini menegaskan pentingnya peran jurnalis dalam mendokumentasikan realitas sosial yang terjadi di masyarakat, serta keberanian untuk menulis tanpa menutup-nutupi kenyataan demi kebaikan bersama.