Cilegon,- Medianews.co.id,- sebuah kota industri yang semakin mengandalkan pasokan pangan dari luar daerah, kini menghadapi tantangan serius. Tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi para petani tidak lagi produktif. Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September 2024, Direktur Eksekutif NGO- Rumah Hijau, Supriyadi menegaskan pentingnya perjuangan untuk reforma agraria sebagai solusi untuk masalah ini.
“Hari Tani Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963, bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria,” katanya.
Dalam konteks peringatan tahun ini, NGO- Rumah Hijau menyampaikan beberapa tuntutan penting kepada pemerintah, terutama kepada Walikota Cilegon.
“Pertama, NGO- Rumah Hijau mendesak pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria secara efektif. Reformasi ini bertujuan untuk memperbaiki struktur penguasaan agraria yang tidak seimbang dan memastikan distribusi tanah yang adil,”
“Melalui reformasi ini, tanah harus dibagikan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah, serta petani kecil yang membutuhkan lahan untuk mengembangkan usaha pertanian dan perikanan demi mencapai kedaulatan pangan. Selain itu, perlu ada perhatian pada penyediaan perumahan dan fasilitas sosial untuk masyarakat,”
Selanjutnya, pemerintah diharapkan untuk meningkatkan luas lahan pertanian produktif di Cilegon. Hal ini penting agar ketergantungan pada pasokan pangan dari luar kota dapat diminimalkan. Kemandirian pangan merupakan aspek krusial dalam menjaga kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, Supriyadi menekankan pentingnya menolak praktik komersialisasi tanah melalui lembaga Bank Tanah, serta penyerahan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada pihak asing.
“Praktik semacam ini cenderung bersifat kapitalis dan neoliberal, yang merugikan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pelaksanaan reforma agraria harus berlandaskan pada konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD NRI 1945, UU PA 1960, dan TAP MPR-RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” ungkapnya.
Selain itu, perlu adanya perlindungan hukum bagi petani, pejuang reforma agraria, dan aktivis lingkungan hidup.
“Pemerintah wajib melindungi hak asasi petani sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta meratifikasi Deklarasi PBB mengenai Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Perdesaan,” ujarnya.
Supriyadi juga menegaskan bahwa produk pangan seharusnya berasal dari keluarga petani dalam negeri, bukan dari proyek food estate atau lumbung pangan terpusat yang dikelola oleh korporasi. Oleh karena itu, pemerintah harus merumuskan kebijakan pertanian jangka panjang di Cilegon yang berbasis pada reforma agraria dan kedaulatan pangan.
“Ini penting untuk memastikan bahwa petani lokal mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan,” tegasnya.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan sarana produksi, pemerintah juga perlu mendorong transisi dari sistem pertanian konvensional yang dipengaruhi oleh revolusi hijau menuju praktik agroekologi.
“Pendekatan ini akan mengutamakan keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yang sangat penting untuk masa depan pertanian di Cilegon,” ujarnya.
Supriyadi berharap Cilegon dapat mewujudkan kedaulatan pangan yang sesungguhnya, serta menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi para petani dan masyarakat luas.
“Perjuangan untuk reforma agraria bukan hanya sekadar tuntutan, tetapi merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera,” pungkasnya.